Sabtu, 27 Mei 2017

SERPIHAN HATI

Kau, yang terlalu lama mendekam di kepala dan hati. Serta aku, yang tak sanggup tuk mengusirmu perlahan. Sekarang ku beranikan diri tuk mengusirmu, jauh sejauh-jauhnya. 
Maaf, seharusnya ku lakukan ini sedari dulu. Sedari hatiku tergores luka karenamu.

Apa kau tak lelah, terus-menerus pergi kemudian singgah lalu pergi lagi?. Apalagi itu hatiku, bukan rumahmu tetapi persinggahan kesukaanmu. Yang bisa sesuka hati kau tinggalkan dan kau datangi.
Salahkah aku bila terlalu lelah lalu ingin pergi. Ingin menjadi rumah bagi seorang yang benar-benar menjaga hatiku.
Atau, harus ku tunggu kau hingga kau anggap ku rumahmu?.


Haruskah ku terus berjalan lambat denganmu, ataukah ku harus berlari kencang meninggalkanmu?. Meninggalkan semua yang membuatku lelah menunggu kepastian yang tak kunjung datang.
Haruskah?

RESAH

Rasanya, aku ingin segera mengakhiri setiap kekhawatiranku dengan sebuah senyuman. Memantapkan hatiku bahwa ini hanyalah sebuah rasa samar yang akan segera hilang. Memantapkan hati bahwa kau, yang akan menetap, meski harus kuakui masih berjarak.
Harus ku apakan hatiku ini karenamu, Sayang?.
Di saat ku mulai ingin runtuhkan bentengku perlahan, kau dengan perlahan juga runtuhkan rasaku. Perlahan membuatku hancur dan membangun kembali bentengku. Bukan membencimu, namun mencoba tuk melindungi hatiku yang sudah terlalu rapuh karena sering di permainkan.
Bagiku, menghancurkan benteng lebih sulit. Dalam sekejap aku bisa membangun bentengku setinggi mungkin, melindungi hatiku dari kerapuhan bertahap. Membangun setinggi mungkin hingga tak ada yang sanggup memanjat dan menelusup masuk barang sebentar. Namun denganmu berbeda. Aku seperti bukan aku yang dulu.
Harus ku apakan bentengku karenamu, Sayang?.
Harus ku apakan hatiku jika berurusan denganmu, Sayang?.
Just give me the answer, as soon as possible.

"Terlalu mengharap ataukah menerka, keduanya sama saja membuatku meragu. Bukan lakumu pun hatimu, Aku yang masih menimbang y
ang lalu dan baru."
Ansar Alfansyah, 27 May 2017 
11:02 
Selama ini aku berkawan dengan patah hati. Mematahkan hati setiap di singgahi. Memantapkan hati bahwa setiap singgahan tak lebih dari sekedar menyakitkan. Hanya menawarkan bahagia sesaat, selebihnya asa dan kesakitan yang berkuasa. Hingga ego semakin tinggi dan membuka hati adalah sebuah kesalahan yang tak kan ku ulang.
Hingga singgahmu membutakanku. Memecah segala keraguan, menumbuhkan apa yang mereka katakan bahagia. Jika benar ini bahagia, sanggupkah kau pastikan hatiku tak kan patah kembali?. Ataukah bisa kau pastikan tak kan ada raungan kesakitan saat kau (mungkin) pergi dariku?.


Dingin dan bersekat, seperti perpaduan antara dinginnya malam dan tembok kamarku. Sayangnya, yang terjadi adalah hatiku dan hatimu yang semakin bersekat. Tidak ada lagi percikan rasa yang membuat kita semakin lekat. Tidak ada lagi alasan yang mampu buatku bertekuk lutut kepadamu. Tak ada lagi aku, sebagai tempatmu pulang.
Semuanya menjadi semakin jelas, perlahan hatiku dan hatimu menjadi semakin dingin. Beku. Dan tak ada lagi kehangatan selain sinar matahari pagi yang menyambut kita.
Inikah yang kau inginkan?, hubungan yang semakin tak jelas dan tak terarah. Terputus perlahan dan menyekat hingga sendiri adalah pilihan terbaik(ku).

Setelah kamu, ada beberapa perempuan yang datang. Entah memberi harap atau sekedar mengumbar manisnya kata. Mereka seakan memgerti bahwa kosongnya hati perlu di isi, perlahan dengan manisnya kata dan janji.
Setelah kamu, ada hati yang ingin di isi kembali dengan harapan dan impian bukan kenangan pun rindu yang membabi buta ingin di kembalikan kepadamu.
Setelah kamu, ada seseorang yang sanggup mengisi namun memberi harap lebih ia sukai. Tak sekalipun sesal terucap dari bibirnya. Sekali lagi aku patah.
Setelah kamu, sekarang. Akhirnya aku menemui yang tak hanya memberi harap dan manisnya kata. Aku menemukan seseorang yang benar-benar akan menjagaku. Setelah kamu pergi aku menjadi semakin kuat. Terimakasih, kamu masa laluku.

Sejak kepergianmu kala itu; aku tidak lagi menyukai senja
Sejak kaupalingkan arah menjauhiku; aku tidak lagi menunggu senja
Sejak hatimu memutuskan untuk berhenti terpaut; aku tidak lagi menginginkan senja
Karena ternyata senja sama saja sepertimu, hanya datang sebentar lalu menghilang; menawarkan bahagia sesaat, lalu tenggelam.

Penggantinya malam pekat, aku terjebak. Sudah berputar-putar; tetap gelap. Kapan aku menemukanmu (yang sepertimu) lagi?
Rasanya matahari sudah tak ingin terbit di dunia. Sebentar, sudah berubahkah duniaku?



Aku seharusnya bahagia, ketika mengetahui kau sudah berbahagia dengan lelaki yang kau puja selain aku.
Aku seharusnya rela, hatimu lebih terikat dengan lelaki yang mengikatmu dengan pesonanya.
Aku seharusnya bahagia, karenanya aku lepas dari jeratan kata yang selalu kau berikan padaku.
Aku seharusnya bahagia, ketika kau pergi tanpa sebuah ucap pisah dan memberikan sebuah tamparan kenyataan bahwa kau hanya singgah dan tak ingin menetap.
Aku seharusnya bahagia, tidak denganmu itu bukan matiku. Tidak denganmu adalah sebuah bahagiaku. Namun hatiku kalut, tidak denganmu membuatku gila.
Selamat, kau membuatku gila dengan kepergianmu yang tidak terencana. Kau membuat hatiku patah, sepatah-patahnya hingga bangkit pun aku ragu.
Tidak denganmu, aku menjadi bukan aku yang terseok-seok karena harap.
Tidak denganmu, aku gila.
Tidak denganmu, aku kalut.
Terimakasih untukmu, yang saat ini tetap membuatku gila karena harapmu.



Ini hanyalah serpihan kata yang mengalun dalam rindu, kenangan dan impian yang melebur menjadi satu kesatuan dalam sebuah tulisan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aplikasi Payroll

  Tingkatkan efisiensi menghitung gaji karyawan dengan Aplikasi Payroll ini Semua beban perhitungan yang kompleks dan memerlukan waktu lebih...